KELOMPOK 5
KETUA ; PAULINUS
BENDU
ANGGOTA;
·
CARLO
YOHANA BALE
·
RINI
LIWUPUNG
·
YOHAKIM
TASESEB
·
ASTRIA
WULANDARI MUBAREK
·
FRENGKI
PUAY
·
JURUSAN ILMU
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOCIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NUSA
CENDANA
KUPANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata
Birokrasi Publik sesuai dengan waktu yang diharapkan.
Tugas ini di susun untuk melengkapi
penilaian dosen, dengan harapan tugas ini dapat membuat mahasiswa mengerti dan
memahami mengenai mata Reformasi Birokrasi.
Terima kasih yang sebesar-sebesarnya
kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini, khususnya
kepada dosen mata kuliah Birokrasi Publik yang telah memberikan tugas makalah
ini.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tulisan ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat kami
harapkan.
Kupang, 20
Maret 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
pengantar............................................................................................................................ i
Daftar
isi.................................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
1.1 Latar
belakang............................................................................................................... 1
1.2 Rumusan
masalah.......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN......................................................................................................... 3
2.1 Pengertian
reformasi birokrasi....................................................................................... 3
2.2 Tujuan
reformasi birokrasi............................................................................................. 5
2.3 Penyusuaian
reformasi terhadap birokrasi Indonesia..................................................... 8
2.4 Langkah-langkah
meningkatkan reformasi birokrasi menjadi lebih baik..................... 10
BAB
III PENUTUP................................................................................................................ 14
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 14
Daftar
pustaka......................................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Birokrasi
adalah fenomena kehidupan yang telah lama dikenal oleh umat manusia sejak zaman
dahulu. Sejak manusia
sebelum lahir sampai meninggalnya, seorang manusia yang hidup di dunia akan
senantiasa berurusan dengan institusi pemerintah yang kita kenal dengan nama
birokrasi itu.
Di
Indonesia
sebagai Negara yang mengikuti sistem demokrasi, kehadiran partai politik dalam
birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Menurut teori liberal, birokrasi
pemerintah itu menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai akses
langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan
demikian birokrasi pemerintah itu tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat
birokrasi saja yang meniti karier di dalamnya, melainkan ada pula bagian-bagian
lain yang ditempati oleh pejabat-pejabat politik.
Kehadiran
partai politik dalam pemerintahan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan birokrasi
pemerintah. Salah satu pengaruh itu ialah birokrasi pemerintah terkontaminasi
terhadap bermacam dan beragam perbedaan ideologi yang dibawa oleh partai
politik. Tidak jarang terjadi dalam suatu departemen yang menterinya dari partai
tertentu, maka struktur jajarannya dari partai yang sama dengan menterinya
tersebut.
Sangat
menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realitanya birokrasi
khususnya di Indonesia
terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para
pegawai birokrasi itu digaji dari uang masyarakat. Terkadang wewenang yang
diberikan kepada pegawai birokrasi banyak disalahgunakan.
Birokrasai adalah
“jantung” Negara. Apabila birokrasai sehat maka akan sehat pula suatu Negara
tersebut. Sebaliknya, rusaknya birokrasai akan berdampak pada kehancuran dari
suatu Negara itu. Dan barang tentu kehancuran Negara berakibat pada kehancuran
masyarakatnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pemaparan
latar belakang di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah
yaitu:
1
Apakah yang dimaksud dengan
reformasi birokrasi?
2
Apakah yang menjadi tujuan dari
reformasi birokrasi?
3
Bagaimanakah penyesuaian reformasi
birokrasi terhadap perubahan birokrasi di Indonesia?
4
Bagaimanakah langkah-langkah untuk
meningkatkan reformasi birokrasi menjadi lebih baik?
1.3
Tujuan
1
Untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Birokrasi Publik
2
Memberikan pemahaman kepada
mahasiswa mengenai Reformasi Birokrasi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi adalah mengubah atau
membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini
diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah
kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development
(Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan
bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development
adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota
masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh
masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai
peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait
erat dengan kemajuan masyarakat.
Dilihat dari aspek perkembangan
masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi,
politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta
konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186). Khan
(1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam
suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan
keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan
reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik
dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan
tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan
lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari
pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap tingkah laku (the ethics being).
Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan
masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi bertujuan mengoreksi dan
membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh
menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi
penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi.
Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam
suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian
negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi merupakan salah
satu upaya pemerintah untuk mencapai good
governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi
birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui
reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi
menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi
birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah.
Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan
sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut
untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi
merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu cita-cita reformasi
birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki
kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas
serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika,
pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam
mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan
dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi di Indonesia
menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi,
efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal
yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah
sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.
2.2
Tujuan Reformasi Birokrasi
Gerakan reformasi yang diguliran
oleh berbagai kekuatan dalam masyarakat, yang dipelopori oleh mahasiswa pada
tahun 1998, bertujuan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang terpuruk akibat
krisis ekonomi yang berlarut-larut. Gerakan reformasi diharapkan dapat
memberikan pengaruh bagi penyelesaian berbagai persoalan bangsa selama masa
pemerintahan orde baru berkuasa, seperti kasus-kasus korupsi, nepotisme, dan
kolusi. Berbagai kasus yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan
yang dilakukan oleh elite-elite politik dan birokrasi orde baru diyakini
merupakan salah satu faktor penyebab yang memperparah krisis ekonomi di
Indonesia.
Public mengharapkan bahwa dengan
terjadinya reformasi birokrasi, akan diikuti pula perubahan besar pada desain
kehidupan bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi
kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun cultural. Perubahan struktur,
kultur, dan paradigm birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi
begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi
yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi
sampai saat ini.
Reformasi birokrasi dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan untuk
menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel. Birokrasi dalam
melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi
pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa. Kepuasan total dan
masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi pelayanan
menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian layanan. Perubahan
paradigma pelayanan public tersebut diarahkan pada perwujudan kualitas
pelayanan prima kepada public, melalui instrument pelayanan yang memiliki
orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Namun, harapan terbentuknya kinerja
birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara maju
tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik (1997)
mengemukakan bahwa realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara
yang sedang berkembang sering kali sangat berbeda dengan realita sosial yang
ditemukan dalam masyarakat di negara maju. Realita empiric tersebut berlaku
pula bagi birokrasi pemerintah, yang kondisi birokrasi di negara-negara
berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadap oleh para
reformis birokrasi di negara-negara maju pada sepuluh decade yang lalu.
Kecenderungan birokrasi untuk
bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum dapat sepenuhnya
dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi
kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi.
Birokrasi yang seharusnya yang bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja
dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan-kepentingan golongan atau
partai politik tertentu.
Ketika reformasi birokrasi dimaknai
sebagai perubahan positif dalam tubuh birokrasi, maka sebenarnya kita telah
melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pencanangan
pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan sesuatu yang
baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka dokumen
penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program pembangunan sejak
tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, semangat untuk
melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian, reformasi bukan
hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses perubahan yang terencana
dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator
reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi.
Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan
momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada
tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan
dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945,
penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU
No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi
yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR
RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi,
Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun
1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Beberapa kebijakan
pemerintah telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi.
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1
Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan
yang biasa atau membudaya pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga
eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai
kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya;
2
Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan
in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat;
3
Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi
praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit;
4
Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah
dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Kondisi tersebut memberikan gambaran
bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh
dari jangkauan. Oleh karena itu, pada dasarnya secara umum yang menjadi tujuan
reformasi birokrasi adalah agar terciptanya good governance, yaitu tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :
1
Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2
Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka,
demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara
3
Pemerintah yang bersih (clean government)
4
Bebas KKN
5
Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
2.3
Penyesuaian Reformasi Birokrasi
terhadap Perubahan Birokrasi di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara
yang sedang berkembang juga mau tidak mau tidak bisa lepas dari globalisasi.
Berbagai pengaruh baik positif maupun dampak negatifnya turut dirasakan oleh
bangsa ini, yang juga secara lansung atau tidak lansung mempengaruhi dari
birokrasi di Indonesia. Globalisasi diibaratkan sebagai dua sisi mata uang bagi
suatu negara, disatu sisi mendatangkan kebaikan dan satu sisinya lagi
mendatangkan keburukan pada suatu negara. Dalam globalisasi ini ditandai dengan
persaingan “Among regions”: khususnya daerah-daerah otonom dimana
investasi bisa ditanamkan, “Among government” : dipertandingkan
efektifitasnya, “Among corporation” : dipertandingkan daya saingnya, “Among
people” : dipertandingkan durability-nya (Riant Nugroho, 2003:43).
Dalam era globalisasi ini birokrasi
dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif dan akuntabel. Tetapi walaupun
pada kenyataannya pada masa sekarang ini hal-hal tersebut seolah sangat sulit
diwujudkan pada birokrasi Indonesia. Berbagai polemik muncul dalam birokrasi
Indonesia dari orde baru sampai dengan pasca reformasi. Reformasi yang
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada di negara ini
ternyata malah membawa kepada keadaan yang lebih buruk. Reformasi yang
diharapkan dapat merubah budaya birokrasi Indonesia yang berbelit-belit dan
identik dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme kenyataannya tidak sama sekali.
Tantangan untuk mewujudkan suatu
kepemerintahan yang baik menjadi kerja keras bagi birokrasi Indonesia.
Selanjutnya pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana birokrasi Indonesia
tetap eksis dalam menghadapi kemajuan zaman yang semakin mengglobal ini? Apa
yang seharusnya dilakukan sebagai langkah dan bentuk dari penyesuaian terhadap
arus globalisasi? Dalam kesemrawutan birokrasi di Indonesia pertanyaan tersebut
seolah mudah dalam konsep teori, akan tetapi sangat sulit dalam tataran
implementasinya.
Ada beberapa konsep yang seharusnya
dilakukan ataupun yang menjadi fokus pemerintah dalam menjawab tantangan dan
langkah-langkah sebagi upaya penyesuaian diri terhadap globalisasi, yakni :
1
Penerapan Good governance dalam pemerintahan
2
Reformasi Birokrasi secara serius
3
Pemerintahan yang berbasis
elektronik
Ketiga hal tersebut saling berkaitan
antara satu dengan lainnya. Good Governance menghendaki adanya reformasi dalam
birokrasi. Birokrasi Indonesia yang dinilai gemuk dan inefisiensi harus segera
direform menuju birokrasi yang miskin organisasi akan tetapi kaya akan fungsi.
Kemudian untuk merealisasikan good governance, pemerintahan yang berbasis
elektronik diperlukan guna menciptakan birokrasi yang akuntabel dan responsif
terhadap pelayanan publik .
Antisipasi Pengaruh Negatif
Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :
1
Menumbuhkan semangat nasionalisme
yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.
2
Menanamkan dan mengamalkan nilai-
nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama
dengan sebaik- baiknya.
4
Mewujudkan supremasi hukum,
menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil-
adilnya.
5
Selektif terhadap pengaruh
globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah-
langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi
yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak
akan kehilangan kepribadian bangsa.
2.4
Langkah-langkah
untuk Memajukan Reformasi Birokrasi
Mengikuti
pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal
pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali
apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi
pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari
internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan,
peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di
masa depan. Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat
merumuskan kebijakan dan program-program reformasi. Dalam birokrasi pemerintah
kita, bentuk yang sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan
masyarakat dan tekanan dunia internasional akan good governance.
Dalam rangka
reformasi birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang
sangat mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan
mengalami banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam
ataupun luar birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini,
bukan pekerjaan yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang
holistic, melingkupi berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti:
1
Pengaruh eksternal yang luas,
seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk
masyarakat;
2
Nilai-nilai masyarakat dan budaya
nasional;
3
Unsur-unsur khas dari organisasi;
dan
4
Nilai-nilai dasar dari koalisi
dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling besar.
(Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).
Change
management perlu diterapkan dan diimplementasikan di dunia birokrasi pemerintah
atau public governance. Oleh karena
itu, hal ini harus dikawal dengan pengendalian tanpa kompromiatau toleransi.
Artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan target dan sasaran yang telah
diputuskan , serta diiringi dengan jaminan dan kendali mutu yang ketat. Change
management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya minimal harus
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1
Menghentikan pendarahan, maksudnya
adalah tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan dan mengakibatkan
kehancuran sistem kerja birokrasi semakin parah. Ini ibarat pendarahan yang
jika tidak disumbat akan semakin menggrogoti kesehatan badan. Dalam pelaksanaan
reformasi birokrasi, perbuatan atau tidak adanya perbuatan tersebut harus
ditutup terlebih dahulu, setidaknya untuk membatasi kelemahan kinerja
birokrasi. Ini setidaknya mencakup lima hal, antara lain:
a.
Hentikan lemahnya komitmen pimpinan
dalam perbaikan birokrasi.
b.
Hentikan inefisiensi, baik tergolong
penyimpangan atau tidak.
c.
Stop Fee (hentikan
pemberian dan penerimaan komisi).
d.
Hentikan pemekaran wilayah dan
lembaga Negara/komisi yang mengakibatkan pemekaran birokrasi.
e.
Hentikan “lomba glamor” fasilitas
antarbirokrat.
2
Batas waktu pelaksanaan change
management secara serius, serempak, dan direalisasikan tanpa kompromi atau
toleransi.
Perlu ada
batas waktu untuk memulai secara serius dan dengan persiapan mendalam. Ini
mencakup batasan mulai kapan kita telah siap dengan segala perangkatnya.
Demikian juga ukuran dan sanksi apa yang harus diterapkan, ketika pejabat atau
birokrat kita tidak mampu berbuat dan berprestasi sesuai dengan ukuran
minimalnya. Untuk itu, perlu ada semacam kontrak kerja sebagai ganti kontrak
politik untuk jabatan politik.
3
Jabatan eselon satu dan eselon dua
harus dipegang oleh leader-manager yaitu birokrat atau pejabat yang memahami ,
menghayati, dan mempraktikkan management leadership (kepemimpinan manajemen).
Salah satu
kelemahan birokrasi yang tergolong serius adalah bahwa banyak pejabat kurang
menguasai manajemen dan kepemimpinan. Banyak yang bekerja hanya sekedar
mengalir sampai ke jabatan yang lebih tinggi, bahkan ke puncak birokrasi, yaitu
eselon satu. Oleh karena itu, salah satu hal yang dimasukkan dalam program
reformasi birokrasi ini adalah pembenahan pejabat eselon satu dan eselon dua.
4
Benchmarking ke beberapa Negara untuk merumuskan
detail management.
Melakukan benchmarking ke birokrasi pemerintahan negara lain, terutama yang
menurut penilaian lembaga internasional memiliki good public governance, sangatlah penting. Kegiatan ini seharsnya
tidak hanya dijadikan ajang jalan-jalan para pejabat. Mereka harus serius menjalankannya seperti biasa dilakukan oleh
sejumlah perusahaan ternama. Kegiatan ini sekaligus dapat dipergunakan sebagai
awal untuk menentukan standar kinerja, indicator keberhasilan, serta target dan
tuntutan yang harus dikerjakan oleh birokrat kita, terutama untuk melakukan change management.
5
Terwujudnya standar kinerja dan indicator keberhasilan yang
konkret, jelas, dapat dipraktikkan, dan dapat diukur dengan mekanisme
pengendalian yang efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga pengendalian
mutuakan terjamin.
Pengendalian yang lemah dan sistem
kerja birokrasi kita adalah faktor utama yang menghambatimplementasi kebijakan
dan ketentuan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
6
Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran
kendali mutu dan membentuk lembaga yang menjalankan peran penjaminan mutu agar
dapat sampai pada target yang telah ditetapkan dengan standar yang ada.
Ketika standar kinerja dan indicator
keberhasilan sudah jelas, perlu ada sistem pengendalian dan pengawasan yang
baik. Di samping itu juga perlu dibentuk lembaga penjamin mutu (quality assurance). Lembaga ini belum
ada di dalam pemerintahan kita. Padahal, jaminan mutu adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindarkan, terutama untuk memperbaiki kinerja birokrasi.
7
Pengawasan mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana kerja
departemen/lembaga non-departemen secara ketat.
Setiap departemen atau lembaga non
departemen harus selalu melakukan pengawasan, termasuk evaluasi, koreksi, dan
sejenisnya untuk menjalankan RPJM Nasional (Perpres No. 7 tahun 2005). Namun
seluruh perencanaan kerja pemerintah sendiri juga perlu dievaluasi dan
dikoreksi secara rutin setiap tahun.
8
Peningkatan gaji PNS secara signifikan.
Yang tidak kalah penting dalam transformasi birokrasi adalah sistem
remunerasi PNS, termasuk para pejabatnya. Hal ini juga
erat sekali kaitannya dengan kebijakan dan komitmen pemberantasan KKN. Gaji PNS harus
dinaikkan secara signifikan, bukan kenaikkan berkala seperti yang terjadi
selama ini yang hanya menutup inflasi. Perbaikan renumerasi ini merupakan
reformasi mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk
memperbaiki kinerja birokrasi kita.
9
Restrukturasi PNS.
Evaluasi
mendasar terhadap kinerja PNS hampir mirip dengan rekrutmen ulang. Namun
sebelum dilakukan rekrutmen ulang, PNS harus diberi waktu untuk memperbaiki
diri. Ketika standar kinerja dan indicator keberhasilannya sudah jelas, harus
jelas pula tuntutan kinerjanya.
10 Sistem pendidikan dan latihan harus
diperbaiki, direformasi secara mendasar. Diklat PNS, mulai untuk pra jabatan,
tenaga administrasi, sampai untuk pimpinan selama ini selalu didominasi oleh
aktifitas formal dan seremonial. Materi dan metode hampir selalu sama, seolah
menjadi doktrin yang sulit diubah, padahal dunia dan tuntuta terhadap kinerja
birokrasi selalu berubah, terlebih setelah era reformasi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan isi dan
pembahasan, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan diantaranya:
a. Reformasi birokrasi merupakan upaya
untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
b. Tujuan Reformasi Birokrasi yaitu
agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih,
dan berwibawa.
c. Dalam era globalisasi ini birokrasi
dituntut untuk lebih efisien, efektif, responsif dan akuntabel.
d. Hal pertama yang harus dilakukan
dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai
pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan
(pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal
birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang
potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Setiyono, Bagus.
2012. Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Bandung: Nuansa
Cendekia
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tamin, Faisal. 2004. Reformasi Birokrasi. Jakarta: Blantika
Undang-undang. No. 28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme
jos
BalasHapus