Selasa, 05 April 2016

JEJAK PERAHU MISTERIUS “JONG DOBO” DI BUMI KABUPATEN SIKKA Flores NTT



JEJAK PERAHU MISTERIUS “JONG DOBO” DI BUMI KABUPATEN SIKKA Flores NTT

”Sebelum melakukan perjalanan, mereka yang hendak berlayar membuat sumpah serapa. Mereka tidak boleh melanggar hukum adat, alam dan hukum Tuhan. Apabila melanggar, maka mereka dikutuk menjadi kecil”.
 .
Dusun Dobo atau lebih dikenal dengan sebutan Perkampungan Dobo, merupakan 1 dari 3 dusun yang berada dalam wilayah Desa Iyantena, Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka Flores Nusa Tenggara Timur. Perkampungan Dobo berada diketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Ada 37 kepala keluarga (kk) yang menetap-tinggal dan bermata pencaharian sebagai petani. Di perkampungan ini terdapat 7 suku atau dalam bahasa setempat disebut ”Lepo Pitu”. Diantaranya, Lepo Tana Pu’ang, Lepo Mangun Lajar, Lepo Sadopun, Lepo Hoban, Lepo Goban, Lepo Tadak, dan Lepo Tana Wura. Keseluruhan Lepo yang berada di Perkampungan Dobo dipimpin seorang Kepala Kampung, yaitu Lepo Tana Pu’ang (Tuan Tanah-Red).
Adanya Lepo-Lepo tersebut tampak jelas di Perkampungan Dobo, karena ada 7 lokasi terdapat onggokan batu yang tersusun rapi yang disebut ”Watu Mahe”. Sedangkan persis berada ditengah kampung adalah Watu Mahe milik Lepo Tana Pu’ang. Di Watu Mahe, oleh masyarakat setempat sering diadakan upacara-upacara, seperti memberi sesajian pada arwah nenek moyang, upacara persiapan tanam dan panen, serta upacara adat lainnya. Dan tentunya, minuman tradisional Moke atau dalam bahasa Sikka disebut ”Tua” yang melegitimasi keabsahan semua upacara yang dilakukan masyarakat Perkampungan Dobo. 
Jalan menuju lokasi lumayan bagus. Sayangnya, lebar jalan beraspal itu hanya sekitar 2,5 meter, sehingga terlihat begitu sempit. Tampak di samping kiri dan kanan jalan berbaris rapi tanaman komoditi perdagangan jambu mete dan tanaman kemiri yang berdiri menjulang tinggi. Sebelum sampai di Perkampungan Dobo, beberapa perkampungan mesti dilewati, yakni Kampung Habilopong, Apinggoot dan Wolomotong. Setengah jam (30 menit) kemudian, kami tiba di Gapura (Pintu masuk) lokasi Jong Dobo. ”Uhet Dien Dat Hading”, demikian tulisan dalam Bahasa Sikka yang artinya, ”Selamat Datang, Pintu Terbuka”.
Ternyata benar. Gerbang Jong Dobo yang berada di atas lahan luas 2,5 hektar dan dipagari dengan kawat berduri itu dalam keadaan terkunci. Perjalanan kami lanjutkan sekitar 100 meter dari gerbang menuju Perkampungan Dobo, lokasi kediaman sang pewaris dan pemegang kunci gerbang Jong Dobo. Kami dipandu Ito (9), warga Dobo, menuju rumah Sergius Moa. ”
”Tidak ada larangan khusus bagi setiap pengunjung yang ingin melihat Jong Dobo. Tapi, perlu diingat, di areal hutan tempat Jong Dobo berada punya larangan khusus, ada sebuah batu besar di pintu masuk tidak boleh diduduki oleh siapapun. Dan semua pohon atau tanaman yang ada di lokasi jangan dirusak, karena akan terjadi malapetaka besar. Satu lagi, tidak boleh bawah makanan,” jelas Sergius Moa, sambil membuka dokumen-dokumen, yang berkisahkan tentang Jong Dobo.
Memang tidak ada larangan apapun, tapi dia selalu mengingatkan setiap pengunjung. Sergius Moa menuturkan, pada tahun 1943, pernah terjadi bencana besar di Perkampungan Dobo dan sekitarnya, karena Jong Dobo dibawah keluar dari tempatnya oleh 2 orang guru yang berasal dari Bei, Kecamatan Kangae. Kedua guru ini hendak menunjukkan Jong Dobo kepada anak muridnya, tapi yang terjadi, selama 3 hari hujan dan angin di wilayah Perkampungan Dobo dan Bei. Jong Dobo kemudian dikembalikan pada tempatnya. Hal yang sama terjadi lagi ketika, Jong Dobo dipindahkan ke Museum Blikon Blewut Ledalero.
Terakhir, lanjutnya, pada tahun 2009, seorang peneliti asal Jerman bernama Mr. Janina Findeisen ditemani Mr. Pose Jurgen dari Jakarta, datang dan meminta agar sebagian dari Jong Dobo diberikan kepadanya dan dibawah ke Jerman demi kepentingan penelitiannya. ”Tapi saya tidak berikan. Yang terjadi, ketika mereka mengambil gambar foto melalui kamera dan video digital, semua gambar tidak terekam. Akhirnya, 4 bulan kemudian, Mr. Pose Jurgen kembali lagi dan mengambil ulang gambar Jong Dobo,” kata pria berjanggut lebat ini.
Jika ingin melihat Jong Dobo, jelas Sergius Moa, mesti dilakukan ritual khusus dengan memberi sesajen kepada arwah nenek moyang. Sesajen yang mesti dibawah antara lain, beras, ekor ikan asin, sirih pinang dan rokok tembakau. ”Tapi ini tidak dipaksakan, kalau ada pengunjung tidak tahu, saya yang sediakan. Ritual ini mesti dilakukan agar kita dapat melihat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata pria, yang mendapat honor Rp. 300.000 per bulan dari Disparsenbud Sikka atas tugasnya menjaga Jong Dobo.

Apa itu Jong Dobo?
Jong Dobo adalah artefak berbentuk perahu mini dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 12 cm, dan tinggi 25 cm. Perahu ini terbuat dari tembaga dengan awak 22 orang, terdiri dari 1 nahkoda, 3 juru mudi, 12 pendayung, 6 penumpang. Dalam perahu tersebut ada ayam 1 ekor dan 1 buah gong.
Jong Dobo dalam Bahasa Sikka terdiri dari dua suku kata. ”Jong” berarti perahu/kapal, sedangkan ”Dobo” adalah nama perkampungan, tempat disimpannya perahu tersebut. Jika diterjemahkan secara bebas, artinya ”Perahu di Bukit Dobo”.
Kini, perahu ini diawasi oleh seorang Tana Pu’ang (Tuan Tanah, Red), yakni Sergius Moa. Artefak Jong Dobo diakui masyarakat setempat sebagai benda kramat dan sakti. Benda ini diyakini bisa mendatangkan panas, menurunkan hujan, meniup topan dan badai, bahkan bisa mendatangkan malapetaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar