Manusia Dan Bahasa
Kehidupan
manusia selalu mengalami suatu proses transformasi. Transformasi itu nampak
dalam historisitas pola hidup manusia yang berkaitan erat dengan dimensi
temporal (waktu) dan dimensi spasial (ruang). Pola hidup manusia mengalami
suatu proses adaptasi seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan di
sekitarnya seperti lingkungan tempat ia bereksistensi. Proses adaptasi itu
lambat laun semakin berkembang dalam suatu rentetan waktu yang disebut sejarah
sehingga manusia mulai berkembang dari pola primitif-konservatif hingga
mencapai suatu kehidupan post-modern untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai homo sapiens (manusia sejati). Salah
satu indikator penting dalam historisitas manusia adalah bahasa. Bahasa
merupakan elemen penting dalam proses transformasi pola kehidupan manusia sebab
pada dasarnya manusia adalah mahkluk sosial (ens sosiale) yang selalu bergaul dan menuntut adanya komunikasi
interaktif maupun transaksional dalam menjalani kehidupannya. Melalui
penggunaan bahasa itulah manusia mampu mengaksentuasikan pemikiran dan
penalarannya tentang sesuatu sebagai suatu konklusi akan realitas di
sekitarnya. Akhirnya melalui proses komunikasi yang panjang manusia mampu
menciptakan suatu kebudayaan yang pada suatu saat akan mengantarkannya dalam
suatu peradaban dan kehidupan yang lebih baik.
Bahasa
menjadi media sentral (primer media) dalam
pemenuhan hidup setiap individu. Bahasa memainkan peran penting dalam proses
transformasi diri manusia dalam pencapaiannya menjadi pribadi yang sempurna. Surajiyo
(2007:40-41) dalam bukunya Filsafat Ilmu
dan Perkembangannya di Indonesia menguraikan tiga fungsi bahasa sesuai
dengan tujuannya masing-masing. Yang pertama adalah fungsi ekspresif atau fungsi emotif. Dalam hal ini bahasa
menjadi media pencurahan rasa takut serta takjub atau bentuk pemujaan lainnya. Yang
kedua adalah fungsi afektif atau fungsi praktis. Dalam hal ini bahasa
berfungsi untuk mempengaruhi aspek psikologis seseorang sehingga sikap dan
tindakannya bisa disesuaikan dengan keadaan orang lain yang mempersuasikannya
(mengajak). Yang ketiga adalah fungsi
simbolik. Dalam pengertian ini eksistensi bahasa menjadi sangat jelas yakni
sebagai sarana komunikasi (menyampaikan sesuatu kepada orang lain) dan sarana penyajian data dan fakta. Ketiga fungsi bahasa ini menjadi parameter
peranan bahasa dalam kehidupan manusia yang sangat dinamis yakni sebagai sarana
untuk berkomunikasi. Komunikasi pun menjadi suatu absolusitas (kemutlakan) yang
harus ada dalam kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Everett Kleinjan (via
Cangara, 2006:1) dalam sebuah buku Pengantar
Ilmu Komunikasi bahwa komunikasi sudah menjadi bagian kekal dari kehidupan
manusia seperti halnya bernafas. Artinya, sepanjang manusia ingin hidup maka ia
perlu berkomunikasi. Melalui proses komunikasi itulah dinamika kehidupan
manusia menjadi semakin berkembang ke arah yang lebih baik hingga akhirnya
pesan yang disampaikan pun tidak hanya sebatas pesan verbal (dengan kata)
tetapi juga melalui kode non-verbal (gerakan tubuh) seperti yang dijelaskan
Hafied Cangara (2006: 95-99) dalam bukunya Pengantar
Ilmu Komunikasi.
Manusia
dan bahasa adalah satu kesatuan. Bahasa merupakan formulasi atau deskripsi
pemikiran manusia yang disampaikannya dalam kode verbal (kata) maupun kode
non-verbal (gerakan tubuh). Pemikiran itu merupakan hasil refleksi mendalam
(filsafat) dari rentetan pengalaman manusia yang diingat dan kemudian diketahui
sebagai sebuah pengetahuan yang perlu disampaikan kepada orang lain sebagai
saksi dari kehidupannya. Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dan
melakukan interaksi dalam pengaktualisasian dirinya sebagai mahkluk sosial
sebab no man is an island (tak ada
manusia yang bisa hidup sendiri seperti sebuah pulau di tengah samudera).
Manusia Sebagai Individu Yang Berbicara
Manusia
merupakan mahkluk yang istimimewa karena ia mampu berpikir dengan akal budinya
dan menimbang dengan hati nuraninya (animal
rationale). Dalam keistimewaan itulah manusia memiliki suatu kelebihan
spesifik yakni; mampu mengekspresikan afeksi dan emosinya serta pemahamannya
tentang sesuatu menggunakan simbol atau bahasa (mahkluk simbolik). Dalam
penggunaan bahasa itulah manusia dikenal sebagai the speaking organism atau mahkluk yang berbicara. Oleh karena itu, dalam tulisan sederhana ini
saya mencoba untuk merefleksikan kemampuan berbicara seseorang yang didasarkan
pada pola pemahamannya tentang sesuatu sebagai sebuah kesimpulan tentang
realitas. Seseorang mampu berbicara dengan baik apabila ia punya suatu
pemahaman yang komprehensif tentang sesuatu sebagai elemen dasar dalam sebuah
proses komunikasi. Hal tersebut mempunyai hubungan erat dengan penggunaan
bahasa sebab bahasa yang diartikulasikan merupakan gambaran penuh dari pola pikir
dan pemahamannya tentang sesuatu sebab manusia benar-benar dianggap ada apabila
ia bisa berpikir (corgito ergo sum).
Dalam
sejarah hidup umat manusia terdapat sebuah evolusi atau perkembangan proses
komunikasi yang terjadi secara bertahap. Aloysius Liliweri (2011) dalam bukunya
Komunikasi Serba Ada Serba Makna
menggambarkan proses perkembangan komunikasi manusia yang terjadi dari zaman
dahulu berupa komunikasi suara atau melalui tanda serta grafika dengan
simbol-simbol tertentu hingga masa sekarang yang mana proses komunikasi semakin
maju ketika proses komunikasi itu dikombinasikan dengan kemajuan tekhnologi
(telekomunikasi). Berbicara tentang sejarah perkembangan proses komunikasi maka
tidak lepas dengan yang namanya retorika
yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga dewasa ini. Retorika
merupakan seni berbicara yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dan gagasan
tertentu dengan penggunaan bahasa persuasif (mengajak) kepada orang atau
kelompok lain dengan tujuan untuk mempengaruhi. Aloysius Liliweri (2011:9) juga
menguraikan tiga seni yang perlu diperhatikan dalam sebuah retorika yakni; ethos atau tampilan karakter dan
kredibilitas seorang pembicara, pathos
atau keterampilan pembicara dalam mengolah emosi dan intonasi suara, kemudian
yang ketiga adalah logos atau
pengetahuan luas dan mendalam sehingga pesan yang disampaikan mempunyai nilai
logis dan rasional yang argumentatif. Contoh praktis dari retorika dewasa ini
adalah pidato, diskusi, dan sebagai public
speaking atau pembicara di depan massa.
Salah
satu aspek penting dalam seni berbicara adalah logos atau pengetahuan. Pengetahuan mempunyai porsi yang lebih
besar dalam sebuah pembicaraan karena tanpanya sebuah pembicaraan hanyalah
sebuah absurditas (kekosongan). Sebuah pembicaraan mempunyai tujuan untuk mencapai
kesamaan makna yang jujur dan profesional bukannya mengantar orang lain ke
dalam kesesatan berpikir (fallacia). Dalam
praktiknya kadang sebuah pembicaraan tidak menemukan titik terang dalam
pengambilan kesimpulan (diskusi) atau tidak mampu mempengaruhi orang lain
(pidato dan public speaking). Tidak
jarang juga ada orang yang tidak mampu berbicara di depan orang banyak karena
tidak tahu apa yang harus ia katakan sehingga suatu proses komunikasi kadang
selalu dihambat oleh banyak gangguan (noise)
yang lebih bersifat internal. Hal tersebut tentunya disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan (logos) yang komprehensif
sehingga sistematisasi pemikirannya mengalami kebuntuan dalam mengambil sebuah
konklusi. Oleh karena itu, tidak salah kalau kadang manusia sendiri tidak
mengindahkan keberadaannya sendiri karena terhambat oleh degradasi budaya
literasi akan suatu pengetahuan sehingga proses pemikirannya mengalami
kebuntuan. Manusia ada karena ia berpikir sehingga perlu sebuah pemikiran
supaya ia bisa tetap ada sebagai yang benar-benar ada. Dan keberadaan itu akan selalu ada apabila manusia
mau belajar untuk mengetahui sehingga ia mampu berbicara dalam sebuah
pemahaman.
Membaca Sebagai Sumber Utama Logos
Membaca
merupakan sebuah bagian dari budaya literasi. Membaca bahan bacaan dari
berbagai sumber dan referensi menjadi pijakan utama dalam berpikir dan bernalar
karena memiliki pengetahuan yang berbasis rasional dan logis-sistematis. Namun,
realitas membaca sebagai sumber utama dari pengetahuan mengalami fluktuasi
hingga akhirnya terdegradasi ke dalam status keterpurukan. Ambil contoh
menurunnya budaya membaca di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
Anies Baswedan mengatakan bahwa data UNESCO merilis minat baca di Indonesia
hanya sebesar 0,01 persen. Artinya, dari sepuluh ribu orang Indonesia hanya
satu orang saja yang memiliki minat baca. Hal tersebut membuat Indonesia
terperosok jauh dalam hal literasi (membaca dan menulis) dari negara-negara
lain (http://sp.beritasatu.com).
Menurunnya
minat baca ini diakibatkan oleh mental easy
going (harap gampang dan santai). Mental ini diakibatkan oleh pemanfaatan
perkembangan tekhnologi informasi yang tidak didasari oleh sikap kritis
masyarakat dewasa ini yang lebih beridentitas sebagai pengguna dini. Selain
pada faktor mentalitas, peranan pemerintah dalam menekan angka buta aksara pun
belum terlalu maksimal. Tingginya angka buta aksara menyebabkan budaya literasi
mengalami degradasi. Selain kedua faktor tersebut, keadaan lingkungan yang
kurang kondusif pun menjadi pemicu kurangnya minat membaca. Tak heran jikalau
keadaan ini menyebabkan Indonesia semakin terbelakang dalam proses kemajuan
bangsa. Oleh karena itu, problematika minat membaca haruslah ditangani sedini
mungkin dengan berbagai upaya preventif untuk masa depan yang lebih baik.
Florianus
Dus Arifian dalam opininya Lingkungan
Sosial dan Keterbelakangan Literasi di NTT (Pos Kupang, Kamis/23/04/2015.
Hal.4) menyatakan dengan jelas tentang peran lingkungan sosial dalam
menyukseskan budaya literasi di tengah masyarakat terutama anak-anak selain
dari lembaga formal. Lingkungan sosial seperti keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan kelompok sosial lainnya haruslah menerapkan budaya membaca dan
menulis dalam kehidupan bermasyarakatnya sehingga semua orang terutama
anak-anak dari seluruh latar belakang yang berbeda mampu meniru dan menerapkan
budaya literasi sebagai bagian dari kehidupannya.
Berbicara Dalam Pemahaman
Berbicara
berarti menyampaikan apa yang kita pikirkan dan rasakan sebagai bentuk ekspresi
kepada orang lain tentang sebuah realitas. Realitas itu perlu diperbincangkan
secara interaksional maupun linear dengan menghadirkan orang banyak dalam ranah
persuasif. Sebuah pembicaraan akan semakin intens apabila pola pikir para
pembicara sangat sistematis dan lancar dalam mengambil keputusan dan
kesimpulan. Semuanya itu berguna untuk mencari kesamaan makna dalam berbagai
perbedaan internal maupun eksternal (field
of experience). Itulah yang disebut komunikasi yang efektif. Oleh karena
itu, diperlukan sebuah pengetahuan yang baik dan luas tentang sebuah realitas
yang akan diperbincangkan. Pengetahuan itu sangat berperan dalam proses
berpikir. Keberhasilan dalam proses berpikir diartikulasikan dalam penggunaan
bahasa yang fasih dengan berbagai argumentasi yang masuk akal. Pengetahuan
adalah bagian dari literasi. Oleh karena itu, tingkatkanlah budaya literasi
(membaca dan menulis) untuk berpengetahuan luas sehingga efektivitas dari
sebuah proses komunikasi bisa berjalan lancar sebagaimana mestinya.