Rabu, 27 Juli 2016

“BERBICARA DALAM PEMAHAMAN”




Manusia Dan Bahasa
Kehidupan manusia selalu mengalami suatu proses transformasi. Transformasi itu nampak dalam historisitas pola hidup manusia yang berkaitan erat dengan dimensi temporal (waktu) dan dimensi spasial (ruang). Pola hidup manusia mengalami suatu proses adaptasi seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan di sekitarnya seperti lingkungan tempat ia bereksistensi. Proses adaptasi itu lambat laun semakin berkembang dalam suatu rentetan waktu yang disebut sejarah sehingga manusia mulai berkembang dari pola primitif-konservatif hingga mencapai suatu kehidupan post-modern untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai homo sapiens (manusia sejati). Salah satu indikator penting dalam historisitas manusia adalah bahasa. Bahasa merupakan elemen penting dalam proses transformasi pola kehidupan manusia sebab pada dasarnya manusia adalah mahkluk sosial (ens sosiale) yang selalu bergaul dan menuntut adanya komunikasi interaktif maupun transaksional dalam menjalani kehidupannya. Melalui penggunaan bahasa itulah manusia mampu mengaksentuasikan pemikiran dan penalarannya tentang sesuatu sebagai suatu konklusi akan realitas di sekitarnya. Akhirnya melalui proses komunikasi yang panjang manusia mampu menciptakan suatu kebudayaan yang pada suatu saat akan mengantarkannya dalam suatu peradaban dan kehidupan yang lebih baik.   
Bahasa menjadi media sentral (primer media) dalam pemenuhan hidup setiap individu. Bahasa memainkan peran penting dalam proses transformasi diri manusia dalam pencapaiannya menjadi pribadi yang sempurna. Surajiyo (2007:40-41) dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia menguraikan tiga fungsi bahasa sesuai dengan tujuannya masing-masing. Yang pertama adalah fungsi ekspresif  atau fungsi emotif. Dalam hal ini bahasa menjadi media pencurahan rasa takut serta takjub atau bentuk pemujaan lainnya. Yang kedua adalah fungsi afektif atau fungsi praktis. Dalam hal ini bahasa berfungsi untuk mempengaruhi aspek psikologis seseorang sehingga sikap dan tindakannya bisa disesuaikan dengan keadaan orang lain yang mempersuasikannya (mengajak). Yang ketiga adalah fungsi simbolik. Dalam pengertian ini eksistensi bahasa menjadi sangat jelas yakni sebagai sarana komunikasi (menyampaikan sesuatu kepada orang lain)  dan sarana penyajian data dan fakta.  Ketiga fungsi bahasa ini menjadi parameter peranan bahasa dalam kehidupan manusia yang sangat dinamis yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Komunikasi pun menjadi suatu absolusitas (kemutlakan) yang harus ada dalam kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Everett Kleinjan (via Cangara, 2006:1) dalam sebuah buku Pengantar Ilmu Komunikasi bahwa komunikasi sudah menjadi bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Artinya, sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi. Melalui proses komunikasi itulah dinamika kehidupan manusia menjadi semakin berkembang ke arah yang lebih baik hingga akhirnya pesan yang disampaikan pun tidak hanya sebatas pesan verbal (dengan kata) tetapi juga melalui kode non-verbal (gerakan tubuh) seperti yang dijelaskan Hafied Cangara (2006: 95-99) dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi.   
Manusia dan bahasa adalah satu kesatuan. Bahasa merupakan formulasi atau deskripsi pemikiran manusia yang disampaikannya dalam kode verbal (kata) maupun kode non-verbal (gerakan tubuh). Pemikiran itu merupakan hasil refleksi mendalam (filsafat) dari rentetan pengalaman manusia yang diingat dan kemudian diketahui sebagai sebuah pengetahuan yang perlu disampaikan kepada orang lain sebagai saksi dari kehidupannya. Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dan melakukan interaksi dalam pengaktualisasian dirinya sebagai mahkluk sosial sebab no man is an island (tak ada manusia yang bisa hidup sendiri seperti sebuah pulau di tengah samudera).

Manusia Sebagai Individu Yang Berbicara
Manusia merupakan mahkluk yang istimimewa karena ia mampu berpikir dengan akal budinya dan menimbang dengan hati nuraninya (animal rationale). Dalam keistimewaan itulah manusia memiliki suatu kelebihan spesifik yakni; mampu mengekspresikan afeksi dan emosinya serta pemahamannya tentang sesuatu menggunakan simbol atau bahasa (mahkluk simbolik). Dalam penggunaan bahasa itulah manusia dikenal sebagai the speaking organism atau mahkluk yang berbicara.  Oleh karena itu, dalam tulisan sederhana ini saya mencoba untuk merefleksikan kemampuan berbicara seseorang yang didasarkan pada pola pemahamannya tentang sesuatu sebagai sebuah kesimpulan tentang realitas. Seseorang mampu berbicara dengan baik apabila ia punya suatu pemahaman yang komprehensif tentang sesuatu sebagai elemen dasar dalam sebuah proses komunikasi. Hal tersebut mempunyai hubungan erat dengan penggunaan bahasa sebab bahasa yang diartikulasikan merupakan gambaran penuh dari pola pikir dan pemahamannya tentang sesuatu sebab manusia benar-benar dianggap ada apabila ia bisa berpikir (corgito ergo sum).  
Dalam sejarah hidup umat manusia terdapat sebuah evolusi atau perkembangan proses komunikasi yang terjadi secara bertahap. Aloysius Liliweri (2011) dalam bukunya Komunikasi Serba Ada Serba Makna menggambarkan proses perkembangan komunikasi manusia yang terjadi dari zaman dahulu berupa komunikasi suara atau melalui tanda serta grafika dengan simbol-simbol tertentu hingga masa sekarang yang mana proses komunikasi semakin maju ketika proses komunikasi itu dikombinasikan dengan kemajuan tekhnologi (telekomunikasi). Berbicara tentang sejarah perkembangan proses komunikasi maka tidak lepas dengan yang namanya retorika yang tumbuh dan berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga dewasa ini. Retorika merupakan seni berbicara yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dan gagasan tertentu dengan penggunaan bahasa persuasif (mengajak) kepada orang atau kelompok lain dengan tujuan untuk mempengaruhi. Aloysius Liliweri (2011:9) juga menguraikan tiga seni yang perlu diperhatikan dalam sebuah retorika yakni; ethos atau tampilan karakter dan kredibilitas seorang pembicara, pathos atau keterampilan pembicara dalam mengolah emosi dan intonasi suara, kemudian yang ketiga adalah logos atau pengetahuan luas dan mendalam sehingga pesan yang disampaikan mempunyai nilai logis dan rasional yang argumentatif. Contoh praktis dari retorika dewasa ini adalah pidato, diskusi, dan sebagai public speaking atau pembicara di depan massa.  
Salah satu aspek penting dalam seni berbicara adalah logos atau pengetahuan. Pengetahuan mempunyai porsi yang lebih besar dalam sebuah pembicaraan karena tanpanya sebuah pembicaraan hanyalah sebuah absurditas (kekosongan). Sebuah pembicaraan mempunyai tujuan untuk mencapai kesamaan makna yang jujur dan profesional bukannya mengantar orang lain ke dalam kesesatan berpikir (fallacia). Dalam praktiknya kadang sebuah pembicaraan tidak menemukan titik terang dalam pengambilan kesimpulan (diskusi) atau tidak mampu mempengaruhi orang lain (pidato dan public speaking). Tidak jarang juga ada orang yang tidak mampu berbicara di depan orang banyak karena tidak tahu apa yang harus ia katakan sehingga suatu proses komunikasi kadang selalu dihambat oleh banyak gangguan (noise) yang lebih bersifat internal. Hal tersebut tentunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan (logos) yang komprehensif sehingga sistematisasi pemikirannya mengalami kebuntuan dalam mengambil sebuah konklusi. Oleh karena itu, tidak salah kalau kadang manusia sendiri tidak mengindahkan keberadaannya sendiri karena terhambat oleh degradasi budaya literasi akan suatu pengetahuan sehingga proses pemikirannya mengalami kebuntuan. Manusia ada karena ia berpikir sehingga perlu sebuah pemikiran supaya ia bisa tetap ada sebagai yang benar-benar ada.  Dan keberadaan itu akan selalu ada apabila manusia mau belajar untuk mengetahui sehingga ia mampu berbicara dalam sebuah pemahaman.

Membaca Sebagai Sumber Utama Logos
Membaca merupakan sebuah bagian dari budaya literasi. Membaca bahan bacaan dari berbagai sumber dan referensi menjadi pijakan utama dalam berpikir dan bernalar karena memiliki pengetahuan yang berbasis rasional dan logis-sistematis. Namun, realitas membaca sebagai sumber utama dari pengetahuan mengalami fluktuasi hingga akhirnya terdegradasi ke dalam status keterpurukan. Ambil contoh menurunnya budaya membaca di Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anies Baswedan mengatakan bahwa data UNESCO merilis minat baca di Indonesia hanya sebesar 0,01 persen. Artinya, dari sepuluh ribu orang Indonesia hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Hal tersebut membuat Indonesia terperosok jauh dalam hal literasi (membaca dan menulis) dari negara-negara lain (http://sp.beritasatu.com).
Menurunnya minat baca ini diakibatkan oleh mental easy going (harap gampang dan santai). Mental ini diakibatkan oleh pemanfaatan perkembangan tekhnologi informasi yang tidak didasari oleh sikap kritis masyarakat dewasa ini yang lebih beridentitas sebagai pengguna dini. Selain pada faktor mentalitas, peranan pemerintah dalam menekan angka buta aksara pun belum terlalu maksimal. Tingginya angka buta aksara menyebabkan budaya literasi mengalami degradasi. Selain kedua faktor tersebut, keadaan lingkungan yang kurang kondusif pun menjadi pemicu kurangnya minat membaca. Tak heran jikalau keadaan ini menyebabkan Indonesia semakin terbelakang dalam proses kemajuan bangsa. Oleh karena itu, problematika minat membaca haruslah ditangani sedini mungkin dengan berbagai upaya preventif untuk masa depan yang lebih baik.
Florianus Dus Arifian dalam opininya Lingkungan Sosial dan Keterbelakangan Literasi di NTT (Pos Kupang, Kamis/23/04/2015. Hal.4) menyatakan dengan jelas tentang peran lingkungan sosial dalam menyukseskan budaya literasi di tengah masyarakat terutama anak-anak selain dari lembaga formal. Lingkungan sosial seperti keluarga, masyarakat, pemerintah, dan kelompok sosial lainnya haruslah menerapkan budaya membaca dan menulis dalam kehidupan bermasyarakatnya sehingga semua orang terutama anak-anak dari seluruh latar belakang yang berbeda mampu meniru dan menerapkan budaya literasi sebagai bagian dari kehidupannya.

Berbicara Dalam Pemahaman
Berbicara berarti menyampaikan apa yang kita pikirkan dan rasakan sebagai bentuk ekspresi kepada orang lain tentang sebuah realitas. Realitas itu perlu diperbincangkan secara interaksional maupun linear dengan menghadirkan orang banyak dalam ranah persuasif. Sebuah pembicaraan akan semakin intens apabila pola pikir para pembicara sangat sistematis dan lancar dalam mengambil keputusan dan kesimpulan. Semuanya itu berguna untuk mencari kesamaan makna dalam berbagai perbedaan internal maupun eksternal (field of experience). Itulah yang disebut komunikasi yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pengetahuan yang baik dan luas tentang sebuah realitas yang akan diperbincangkan. Pengetahuan itu sangat berperan dalam proses berpikir. Keberhasilan dalam proses berpikir diartikulasikan dalam penggunaan bahasa yang fasih dengan berbagai argumentasi yang masuk akal. Pengetahuan adalah bagian dari literasi. Oleh karena itu, tingkatkanlah budaya literasi (membaca dan menulis) untuk berpengetahuan luas sehingga efektivitas dari sebuah proses komunikasi bisa berjalan lancar sebagaimana mestinya.  

KAPAN (BUDAYA) MENYONTEK HILANG?




Dijaman yang serbah canggih ini, banyak sekali mahasiswa menggunakan teknologi untuk mengerjakan sesuatu agar memperoleh hasil yang bagus. Tetapi hasil yang diperoleh adalah hasil menyontek. Kita melihat mahasiswa dalam setiap mengikuti ujian ada banyak tingkah laku aneh yang dapat dilihat: ada yng pura-pura berfikir keras saat dilihat pengawas, ada juga yang sengaja garuk kepala untuk memberikan kode kepada temannya, dan ada pula yang tanpa tanggung-tanggung mengambil jawaban temannya lalu menyalinnya persis.
Ketika melihat tingkah laku mahasiswa ini, muncul sebuah pertanyaan yang ada di dalam pikiran saya, Kapan nyontek hilang? Pertanyaan ini mungkin agak sedikit lucu sebab menyontek sudah berlangsung sejak lama dan sudah menjadi budaya bagi pelajar/mahasiswa. Sejak saya mulai mengenai pendidikan formal dan setiap kali ada ujian pasti tidak terlepas dari namanya nyontek dan ini juga sudah dapat dikatakan menjadi budaya untuk menolong orang lain dalam mengerjakan ujian.
Terlepas dari nyontek yang telah menjadi budaya, kita kembali pada pertanyaan diatas kapan nyontek (budaya) hilang? untuk menjawab hal ini maka kita perlu tahu mengapa orang menyontek ? dalam pandangan saya dan hasil pengakuan dari beberapa teman yang sering menyontek ada beberapa hal yang mendorong orang untuk menyontek :
  1. Tidak belajar.  Alasan utama orang menyontek adalah tidak belajar. saya menemukan banyak pelajar/mahasiswa (tidak semua) tidak belajar waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bersenang-senang, jalan-jalan ataupun melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat.
  2. Ingin dapat nilai yang bagus dengan cara yang gampang. Banyak pelajar/mahasiswa yang tidak belajar sangat berambisi untuk mendapatkan nilai yang bagus namun tidak mau berkorban sedikitpun untuk mendapatkan nilai tersebut. banyak yang berpandangan bahwa “Kalau ada yang gampang mengapa cari yang susah?”. Bukankah dengan menyontek adalah cara yang gampang untuk meraih ambisi mendapatkan nilai yang tinggi tersebut?
  3. Tidak Percaya diri. Ada beberapa pelajar/Mahasiswa yang menyontek karena tidak percaya diri bahwa mereka bisa mengerjakan soal ujian. Alhasil mereka kurang yakin dengan jawaban mereka sehingga harus menyontek untuk sekedar memastikan apakah jawabannya sudah benar atau belum.
  4. Takut tidak lulus/takut dapat nilai nol (bagi mahasiswa 0=E). Bagi sebagian orang mengaku bahwa mereka menyontek karena takut tidak lulus ujian atau tidak naik kelas atau karena takut dapat nol. Mengapa takut? tentu jawabannya beragam. tetapi menurut pengalaman saya yang pernah tidak naik kelas, pernah dapat nilai nol alias E. Tentu ini sangat menyakitkan. Tidak naik kelas dan mendapatkan nilai nol adalah sesuatu yang sangat menyakitkan bagi saya, banyak teman yang mengejek dan merendahkan saya ini yang menyakitkan. sehingga orang memilih untuk menyontek agar naik kelas dan tidak dapat nilai nol sehingga tidak dihina, direndahkan dan diejek seperti yang saya alami.
Keempat alasan inilah yang kira-kira dapat mewakili jawaban atas pertanyaan mengapa orang menyontek. Kita kembali pada pertanyaan awal saya Kapan nyontek akan hilang? tentu ini pertanyaan yang sulit untuk dijawab dengan pasti. Namun saya mencoba menjawab sesuai dengan apa yang saya rasakan sebagai orang yang dulunya juga tukang menyontek namun sekarang sudah bertobat dan tidak menyontek lagi. Budaya nyontek akan berakhir kalau saja :
  1. Semua pelajar/mahasiswa menyadari bahwa kesempatan untuk sekolah atau belajar adalah anugrah dari Tuhan yang nantinya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi anugrah tersebut.
  2. Semua pelajar/mahasiswa menyadari bahwa tidak ada keberhasilan tanpa usaha. Belajar merupakan salah satu usaha untuk dapat meraih keberhasilan. sedangkan menyontek adalah usaha untuk meraih keberhasilan yang semu dan pada akhirnya kita harus menyadari bahwa menyontek membuat kita menjadi malas dan pada suatu ketika akan tertindas sebab tidak memiliki ilmu.
  3. Semua pelajar harus menyadari bahwa menyontek adalah kegiatan bodoh ataupun membodohi orang lain. Saya merasakan hal ini sendiri memang pada saat menyontek kita bisa menjawab soal dan mendapat nilai bagus namun tidak akan bertahan lama dalam hitungan jam semua hilang lenyap bahkan bunyi soal ujianpun kita lupa tetapi ketika kita tidak menyontek maka kita akan lebih mengingat soal ujian yang tidak dapat dikerjakan tadi.
  4. Berani gagal, tidak takut dapat nol dan yakin pada diri sendiri. Ini awal yang sulit bagi seseorang yang ingin berhenti menyontek. Harus berani dapat nol dan tidak takut gagal adalah sesuatu yang sangat sulit bagi orang yang sudah mengalami hal ini dan tetap bertahan untuk tidak menyontek adalah pemenang. sakit rasanya jika kita gagal tetpi tentu lebih sakit manakala kita tidak tahu apa-apa. Saat gagal dan dapat nilai nol hinaan dan ejekan yang diterima hanya bersifat sementara namun pada saat kita tidak tahu apa-apa maka hinaan yang diperoleh lebih lama dan panjang. Pilihan ada ditangan kita. dan terakhir yakin pada diri sendiri. Katakan dalam diri “saya bisa”.
Semua pelajar atau mahasiswa harus sadar bahwa hidup ini keras, jika kita lunak terhadap hidup maka jangan menangis kalau suatu saat hidup ini sangat keras dan membuat kita sakit. Karena itu mulai hari ini berkomitmenlah dalam diri untuk tidak menyontek. Keraskan hidup ini untuk terus belajar dan lawan rasa malas yang ada dalam diri dengan begitu saya percaya suatu saat kita akan merasakan hidup itu lunak.