MAKALAH
“PENYEBAB KEGAGALAN PROGRAM DALAM PENGENTASAN
KEMISKINAN DI INDONESIA”
PAULINUS
BENDU
1 3 0 3 0 1
2 0 8 6
DOSEN WALI:
ALFRED O. ENA MAU,S.Sos, M.Si
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa karena telah memberikan hikmat dan kemampuan sehingga makalah ini
bisa terselesaikan. Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah untuk memenuhi syarat untuk memperoleh nilai tugas pada mata kuliah perencanaan pembangunan dengan
judul “Penyebab
Kegagalan Program Dalam Pengetasan Kemiskinan Di Indonesia”
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan
makalah ini, dan secara khusus penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan yang telah banyak memberikan pengetahuan yang
bermanfaat bagi penulis.
Dikarenakan pengetahuan yang terbatas, penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangannya, baik ditinjau dari segi materi maupun dari segi tata bahasanya.
Namun, penyusun telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki untuk dapat
menyelesaikan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Sekian dan terimakasih.
Kupang, 7 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar......................................................................................................................... i
Daftar
Isi.................................................................................................................................. ii
BAB
I PENDAULUAN......................................................................................................... 1
1.1 Latar
belakang.............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan
masalah......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
2.1 Pengertian
kemiskinan.................................................................................................. 3
2.2 Penyebab
dan ukuran kemiskinan................................................................................ 3
2.3 Program
Pemerintah dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia......................... 4
2.4 Penyebab
Kegagalan Program Pemerintah dalam Pengetasan Kemiskinan................. 6
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 13
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Masalah besar yang dihadapi negara
sedang berkembang adalah kemiskinan. Tidak meratanya distribusi pendapatan
memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya
masalah kemiskinan. Membiarkan masalah tersebut berlarut-larut akan semakin
memperkeruh keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif
terhadap kondisi sosial dan politik.
Masalah kesenjangan pendapatan dan
kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara
maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada
proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang
terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas
wilayah dan jumlah penduduk suatu negara. Semakin besar angka kemiskinan,
semakin tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya. Negara maju menunjukkan
tingkat kesenjangan pendapatan dan angka kemiskinan yang relative kecil
dibanding negara sedang berkembang, dan untuk mengatasinya tidak terlalu sulit
mengingat GDP dan GNP mereka relative tinggi. Walaupun demikian, masalah ini
bukan hanya menjadi masalah internal suatu negara, namun telah menjadi
permasalahan bagi dunia internasional, tidak terkecuali Negara Indonesia.
Kesalahan pengambilan kebijakan dalam pemanfaatan
bantuan dan atau pinjaman tersebut, justru dapat berdampak buruk bagi struktur
sosial dan perekonomian negara bersangkutan.
Demikianlah adanya arus perputaran
perekonomian dari saat kesaat di dalam sebuah perekonomian swasta. Namun, corak
arus itu untuk perekonomian dimana pemerintah ikut di dalamnya sehingga bukan
perekonomian swasta lagi tidaklah akan menyimpang dari prinsip itu, mengingat
pemerintah merupakan unsur pengatur dan penyeimbang perekonomian secara
keseluruhan.
1.2
Rumusan
Masalah
a. Apakah
kemiskinan itu?
b. Penyebab
dan ukuran kemiskinan?
c. Program
Pemerintah dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia?
d. Penyebab
Kegagalan Program Pemerintah dalam Pengetasan Kemiskinan?
1.3
Tujuan
a. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan kemiskinan
b. Untuk
mengetahui apa yang menjadi penyebab dan ukuran kemiskinan
c.
Untuk mengetahui Program
Pemerintah dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia
e. Untuk
Penyebab Kegagalan Program Pemerintah dalam Pengetasan Kemiskinan di Indonesia
BAB
II
PENDAHULUAN
2.1
Kemiskinan
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan
antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di
bawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar dibanyak negara berkembang,
tidak terkecuali Indonesia.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya meliputi: Pertama, gambaran kekurangan materi, yang biasanya
mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan
kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan
barang-barang dan pelayanan dasar.
Kedua, gambaran tentang kebutuhan
sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi.
Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Ketiga, gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik
dan ekonomi di seluruh dunia.
2.2
Penyebab
dan ukuran Kemiskinan
Ø Penyebab
kemiskinan
·
Penyebab individual,
atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan,
atau kemampuan dari si miskin. Namun lebih tepatnya terletak pada perbedaan
kualitas sumber daya manusia dan perbedaan akses modal.
·
Penyebab keluarga, yang
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
·
Penyebab sub-budaya
(subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari,
dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
·
Penyebab agensi, yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang,
pemerintah, dan ekonomi. Karena ciri dan keadaan masyarakat dalam suatu daerah
sangat beragam (berbeda) ditambah dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan
ekonomi yang masih rendah.
·
Penyebab struktural,
yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur social
dan kebijakan pemerintah. Kebijakan dalam negeri seringkali dipengaruhi oleh
kebijakan luar negeri atau internasional antara lain dari segi pendanaan. Dan
yang paling penting adalah Ketidakmerataannya Distribusi Pendapatan yang
dilaksanakan oleh pemerintah.
Ø Ukuran
Kemiskinan
·
Kemiskinan Absolut
Konsep kemiskinan pada umumnya selalu
dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan, kebutuhan tersebut hanya terbatas
pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar ( basic need ). Kemiskinan dapat
digolongkan dua bagian yaitu :
a. Kemiskinan
untuk memenuhi bebutuhan dasar.
b. Kemiskinan
untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
·
Kemiskinan Relatif
Menurut Kincaid ( 1975 ) semakin besar
ketimpang antara tingkat hidup orang kaya dan miskin maka semakin besar jumlah
penduduk yang selalu miskin. Yakni dengan melihat hubungan antara populasi
terhadap distribusi pendapatan.
2.3
Program
Pemerintah dalam Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia
Pemerintah membuat enam program untuk
rakyat miskin yaitu rumah sangat murah,kendaraan angkutan umum dan listrik
murah, air bersih, peningkatan kehidupan nelayan, dan masyarakat pinggir
perkotaan. Siaran pers Seskab baru-baru
ini menyebutkan, enam program yang disebut Program Klaster 4 tersebut merupakan
pelengkap program lain dalam upaya pemerintah mengurangi kemiskinan. Pemerintah sebelumnya telah membuat program
sejenis yang masuk dalam klaster 1-3.
Ø Klaster 1
Bersifat bantuan yang antara lain berupa
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Beras
bersubsidi atau beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) 15 kg/RTS/bulan dengan
harga Rp1.600/kg, program keluarga harapan (PKH) yang diberikan kepada Rumah
Tangga Sangat Miskin (RTSM) yaitu setiap RTSM mendapat Rp 600.000-2,2
juta. Selain itu program klaster 1 yang
terkait dengan klaster 4 adalah jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) untuk
berobat gratis di Puskesmas dan rumah sakit kelas III milik pemerintah.
Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)
untuk mendukung operasionalisasi fasilitas pelayanan kesehatan sebesar Rp 100
juta/Puskesmas/tahun, bantuan sosial bagi pengungsi/korban bencana, bantuan
penyandang cacat sebesar Rp 300 ribu/bulan; dan bantuan untuk lanjut usia
(lansia) telantar Rp 300 ribu/bulan.
Ø Klaster 2
Berisikan program pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
keberdayaan masyarakat secara ekonomi. Klaster ini diibaratkan sebagai kail
karena bersifat memberikan peluang kepada masyarakat miskin berdasarkan potensi
dan kemampuan yang mereka miliki. Dalam
klaster 2, pemerintah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri. Program ini dilaksanakan oleh 13 Kementerian dan 1 lembaga. Melalui anggaran ini, setiap kecamatan akan
memperoleh dana hingga sekitar Rp3 milliar yang rencananya akan dialokasikan di
6.622 kecamatan. Dengan demikian total anggaran PNPM tahun 2011 mencapai
sekitar Rp 10,3 triliun.
Dalam program itu, masyarakat miskin
akan menentukan, mengusulkan, dan melaksanakan sendiri proyek-proyek yang
dipandang penting dan krusial bagi upaya pengentasan kemiskinan di wilayah
mereka. Salah satu komponen terpenting dalam program ini adalah adanyadana
bergulir untuk kegiatan usaha.
Ø Klaster 3
Program peningkatan keberdayaan ekonomi
ini kemudian diperkuat dengan diluncurkannya program kredit usaha rakyat (KUR)
yang tergabung dalam klaster 3. Dalam
program KUR, pemerintah menempatkan dana pada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo)
sebagai dana penjaminan untuk mempermudahpenyaluran kredit untuk usaha mikro,
kecil, dan Menengah (UMKM). Dengan
penempatan dana itu, maka UMKM dapat memperoleh KUR dari perbankan hingga
sebesar Rp20 juta per debitur tanpa harus memberikan agunan kepada pihak
perbankan. Disalurkan KUR Program KUR
disalurkan melalui BRI, BNI, Bank Mandiri,
Bank Syariah Mandiri, Bank Bukopin, Bank BTN, dan bank-bank pembangunan daerah
yang meliputi Bank DKI, Bank Nagari, Bank Jabar-Banten, BankJateng, BPD DIY,
Bank Jatim, Bank NTB, Bank Kalbar, BPD Kalsel, Bank Kalteng, Bank Sulut, Bank
Maluku, dan Bank Papua. Program KUR juga
dikucurkan untuk para TKI dengan kredit maksimal Rp60 juta dan disalurkan juga
untuk sektor perkebunan dengan masa kredit hingga 13 tahun. Sejak pertama kali
diluncurkan pada akhir 2007 hingga April 2011, realisasi penyaluran KUR telah
mencapai Rp43,3 triliun untuk sekitar 4,4 juta debitur.
Ø Klaster 4
Merupakan pelengkap dan penguat berbagai
program pengurangan kemiskinanyang merupakan program prioritas pemerintah. Melalui program klaster 4, beban pengeluaran
masyarakat miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarrumah, transportasi, dan energi
akan berkurang. Dengan demikian daya
beli mereka akan terangkat dan memberikan mereka peluang yanglebih baik dalam
mengakses berbagai peluang ekonomi yang tersedia agar dapat lepas dari jeratan
kemiskinan. Komitmen pemerintah yang
besar dalam mengurangi kemiskinan ini merupakan penjabaran dari strategi
pemerintah untuk menghasilkan pertumbuhan yang"inclusive," yang
berarti pertumbuhan untuk semua secara adil dan merata.
2.4
Penyebab
Kegagalan Program Pemerintah dalam Pengetasan Kemiskinan
Penyebab kegagalan Pada
dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Faktor
Pertama, program- program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial
untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan
program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan
sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah
untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program
bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat
memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya
lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak,
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam
penyalurannya. Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung
digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti
dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah
pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas).
Faktor
Kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya
program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak
tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan
yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya
berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang
digunakan untuk program-program penanggulangankemiskinan selama ini adalah
datamakro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data
mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan
untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang
menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya,
data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman
dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup
banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial,
sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa saja
terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan
lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten atau
kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur (Edi
Suharto, dkk. 2002) :Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam
menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang
sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktuitu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba
Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen,sementara angka
kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada
tahun yang sama mencapai 84 persen.Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah
dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target
sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan
pada angka BPS. Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini
dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) padadasarnya (walaupun
belum sempurna) dapat digunakan untukmemantau perkembangan serta perbandingan
penduduk miskin antar daerah.
Namun, data makro tersebut mempunyai
keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk
target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran
individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga
miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara
lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik. Meski
demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi
rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa
menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan
seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili
keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal Strategi ke depan Berkaitan dengan
penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang
ada sekarang perlu dicermatilebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk
perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis
kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan
ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh
(sistemik)terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data
dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk
memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional,
tingkat kabupaten atau kota, maupun di tingkat komunitas. Masalah utama yang
muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut
belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga
hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup
indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu
daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan
diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapatditerjemahkan ke
dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk
penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap
fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit
sosial yang lebih besar, dan wilayah. Kajian secara ilmiah terhadap berbagai
fenomena yang berkaitandengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses
terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman
gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu
dilakukan.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten
atau kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem
pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah
sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu
ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancangdi pusat belum sepenuhnya
memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah.
Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat
menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat
mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang
lebih kecil.
Oleh karena itu, di samping data
kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga
diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik
yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem
statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya
keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan
informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu
adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara
berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi
kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam
pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya
membantu mempercepat proses pembangunanmelalui kebijakan dan program yang lebih
tepat dalam pembangunan. Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan
informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang
diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu
adanya koordinasi dan kerja samaantara pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholder), baiklokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana
dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang
tindih.
Menurut Karseno Arief (2002)
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan
apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari
informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari
pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen. Sebagai wujud
dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya
dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah
daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)
dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan
agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan
terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat
serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan
program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem
pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan
pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu
pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem
pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini
diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan
tinggi, dan peneliti lokalmaupun nasional, agar secara kontinu dapat
dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Berkaitan
denganhal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan
data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih
penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme
pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten. Mekanisme pengumpulan
data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu
secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan
sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi
yang meningkat.
Menurut Sritua Arief (1999) Upaya-upaya
untuk meningkatkankesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal
kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan
pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara
non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau
masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan
hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan
dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen
pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih
cukup tinggi di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur
antara 10-44 tahun.
Di bidang kesehatan, pemerintah
meluncurkan berbagai upaya untukmeningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak
1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas)
agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa.
Pada awal 1990-an pembangunan pusat
kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi dari pada rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik
kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam
kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.
Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang
berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga
merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga.
Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang
yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan
pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan
kerja para transmigran.
Dalam rangka penanggulangan kemiskinan
pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan,
Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah
Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan
lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan
Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan
Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program
Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT),dan seterusnya. Hampir
semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang
telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah
mencapai puluhan trilyun rupiah.
Sebagaimana dikemukan di atas, struktur
perekonomian Indonesia dengan mudah ambruk karena berat di atas rapuh di bawah.
Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah
Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi
kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkandengan
kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam
perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan
kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang
di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara
operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari
pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak
dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkatdaerah
yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang
diperlukandalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan
(mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara
lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga
keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan
provinsi dapat tetap terjaga. Dalam membangun suatu sistem pengelolaan
informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu
adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara
berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi
kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam
pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses
pembangunanmelalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari
ketersediaan data dan informasi statistic tersebut bahkan bisa jauh lebih besar
dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut.
Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional,
agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat
sasaran dan tidak tumpang tindih. Ketersediaan informasi tidak selalu akan
membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut
kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan
oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan
informasi untuk manajemen. Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk
proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah,
diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait,
perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi
untuk kebijakan program.
Strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat
yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahanbesar yang dilakukan para
pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan
strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai
sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket
pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan
fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam
kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab, perencanaan pembangunan bersifat
top-down, pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading
industrialisasi, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang
memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin
di dalam masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKN
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebijakan dan pelaksanaan program
pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan
dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi
terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar
secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik
daerah. Berkaitan denganhal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan
sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan
didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan
pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat
dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan
ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota,
serta kompromi ekologi yang meningkat.
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari
paparan di atas adalah:
·
Masalah kemiskinan
perkotaan merupakan bagian dari kemiskinan bangsa, bersumber dari dalam kaum
papa sendiri, dan terutama dampak pembangunan topdown yang belum memihak
sepenuhnya kepada rakyat banyak.
·
Sumberdaya yang dialokasikan untuk
mengentaskan kemiskinan perkotaan selama ini masih terlihat belum signifikan
disertai komitmen yang tidak sungguh-sungguh (lipservice).
·
Peningkatan good governance merupakan kunci
penanggulangan kemiskinan perkotaan.
·
Learning process bagi kaum papa perkotaan dan
bagi pemerintah yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan, memang merupakan
hal berat yang harus dijalankan, namun demikian hal itu tidak terasa berat jika
kita sebagai bangsa segera bertekad meninggalkan kemiskinan yang telah berubah
menjadi kehinaan seperti sekarang ini.
Kemiskinan di indonesia, sampai saat
sekarang masih banyak dan masih belum bisa ditangani secara keseluruhan, makin
bertambah dan banyak. Tapi semoga dengan adanya penangulangan kemiskinan yang
pemerintah adakan kemiskinan akan lebih bisa berkurang dan warga masyarakat
akan lebih sejahtera dan makmur.
Berdasar uraian di atas dapat
dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang
menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang
program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan padakonsep
pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai
upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu
(berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan
sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktor yang
mempunyai peran penting untuk mengatasi masalahnya
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah
bahwa percepatan penanggulangan kemiskinan dapatdilakukan dengan mengubah
paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi
partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal.
Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu
sendiri akan sulit berhasil. Proses
otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang
pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensi dari
pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomiyang memberdayakan tersebut.
Maka disarankan agar program-program penanggulangan kemiskinan ke depan
mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi keluarga
miskinbersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Rosyidi,
Suherman.Pengantar Teori Ekonomi.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.2006
http://sosbud.kompasiana.com/2011/11/16/mencari-solusi-kemiskinan-yang-efektif/
http://www.republika.co.id/berita/syariah/keuangan/12/01/12/lxo2dq-ekonomi-
syariah-solusi-jitu-pengentasan-kemiskinan
Heru,
1995.,Kemiskinan, Ketimpangan dan Pemberdayaan,dalam buku Dewanta,
Awan
Setya,1995.,Kemiskinan danKesenjangan di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media.
Pandu
Suharto dan Makmun, Sebuah Pengalaman Dalam Mengurangi Kemiskinan di daerah
Pedesaan, dalam Majalah Pengembangan Perbankan Edisi Juli-Agustus 2006.